Minggu, 30 Agustus 2020

ABSTRACT

 ABSTRACT

    Many factors are involved in intestinal anastomoses result. One of it is suture technique. It is still controversy among the experts wich technique is the best, one or two layer suture. This study was conducted to compare the strength of one layer and two layer suture in intestinal anastomoses to intra luminal pressure increment.
Experiment research had been done using cow’s large intestine. Sample were divided in 2 groups. The first group anastomoses performed with continous seromusculer methode (Single layer suture) by vicryl 4.0. The other one performed with two layer suture (Connel methode by vicryl 4.0 added with  interrupted suture by silk 3.0). Increased the intra luminal pressure in both the groups was observed to anastomoses leakage. In addition compare the usage of material and the duration in suture.
In one layer suture, leakage at 49,251,405 cmH2O and in two layer suture at 50,351,11 cmH2O , statistically not significant ( t = 2,62 and  p = 0,066 ). In one layer sutur total material that used were vicryl 4.0 was 59,101,56 cm and suture duration 19,641,15 minutes, where as for two layer suture total material used were vicryl 4.0 was 64,650,75 cm and with silk 3.0 was 68,20,65 cm and duration  29,520,93  minutes.
There is no significant difference strength of suture at both methode. The amount of material and duration more in two layer suture.
key word;


PENDAHULUAN.
Kebocoran usus dapat terjadi karena beberapa penyebab misalnya penyakit yang mengenai dinding usus sendiri, akibat sumbatan yang lama, trauma         (baik trauma tajam maupun tumpul ) dan juga akibat kegagalan pada  penyambungan  usus   (anastomosis).(11, 12, 15)
Terjadinya kegagalan dalam menyambung usus di pengaruhi oleh faktor sistemik dan faktor lokal. Salah satu faktor lokal yang dapat menimbulkan terjadinya kegagalan  adalah  teknik  menyambung yang tidak tepat di samping gangguan vaskularisasi dan regangan akibat pasase ke arah anal yang tidak lancar sehingga menyebabkan tekanan intra luminal meningkat.(2, 3, 12)
Ada banyak cara penjahitan pada penyambungan usus tetapi pada prinsipnya dibedakan berdasarkan pada ke sinambungan benangnya (penjahitan terputus-putus dan penjahitan jelujur) dan pada posisi kedua ujung potongan yang akan di sambung yaitu jahitan inversi seluruh tebal usus  dengan jahitan penguat (jahitan dua  lapis)  dan jahitan sero muskuler tanpa jahitan penguat        (jahitan satu lapis).(2, 4, 12, 16)
Teknik manakah yang terbaik dalam melakukan anastomosis usus apakah  teknik satu lapis (tanpa over hecting) atau teknik dua lapis (dengan over hecting) sampai sekarang masih belum ada kesepakatan para ahli. Walaupun teknik dua lapis kedengarannya lebih baik dan lebih kuat secara initial, namun begitu dapat meningkatkan respon inflamasi pada stadium penyembuhan awal karena menggunakan materi jahitan yang lebih banyak dan terjadi iskemik pada jaringan inversi. Teknik satu lapis dikatakan menyebabkan lumen  yang lebih besar  dengan kerusakan minimal pada ujung-ujung jaringan di banding jahitan dua lapis.(4, 20)
Jon M. Burch dkk pada penelitiannya mendapatkan komplikasi yang tidak berbeda antara jahitan satu lapis dibandingkan jahitan dua lapis. namun jahitan satu lapis butuh waktu yang lebih cepat dan biaya lebih murah.(4)  Sekarang  teknik jahitan yang di anggap paling baik adalah  jahitan satu lapis sero muskuler. Di samping sangat cepat pengerjaanya juga tanpa jahitan penguat sudah cukup rapat.(12)
Verhofstad  yang di kutip Inggarwati dalam penelitiannya terhadap kelinci yang menjalani reseksi dan anastomosis end to end dengan jahitan dua lapis pada ileum mendapatkan bahwa kebocoran pada anastomosis terendah pada hari ketiga terjadi pada tekanan 41,85 cmH20.(1)
Kitago dkk dalam penelitiannya pada usus babi mendapatkan bahwa tekanan intra luminal yang menyebabkan bocornya anastomosis yang di jahit secara dua lapis pada usus halus adalah : 86,1   19,5 mmHg sedangkan pada usus besar adalah 78,4  17,9 mmHg.(10)
Pada penelitian ini peneliti ingin membandingkan kekuatan jahitan satu lapis  dengan dua lapis pada anastomosis usus terhadap peningkatan tekanan intra luminal dengan menggunakan usus sapi sebagai model.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah  yang akan  di teliti  sebagai  berikut :
1.    Teknik  jahitan  manakah  yang  lebih  kuat antara  jahitan  satu lapis dibandingkan dengan jahitan dua  lapis dalam mengatasi kebocoran  pada anastomosis usus terhadap adanya  peningkatan  tekanan intra luminal.
2.    Teknik manakah yang pengerjaannya lebih cepat dan memerlukan material yang lebih  sedikit antara jahitan satu lapis dibandingkan dengan jahitan dua  lapis.

METODOLOGI  PENELITIAN
Jenis  penelitian
Dalam  penelitian ini peneliti  memakai jenis penelitian eksperimental dengan memakai usus besar sapi sebagai model.

Rancangan penelitian
Pada penelitian ini sampel di bagi dalam 2 kelompok. Masing–masing dengan kelompok  A dan  B. Kelompok  A adalah kelompok  yang  dianastomosis dengan jahitan satu lapis secara sero muskuler dan kelompok B adalah kelompok yang dianastomosis dengan jahitan dua lapis (dengan jahitan penguat). Randomisasi dilakukan pada saat pembagian sampel pada masing–masing kelompok.

Tempat  dan waktu
Penelitian  ini dilakukan di bagian Fisika  Fakultas  Kedokteran  Universitas Andalas Padang. Penelitian ini dilakukan segera setelah proposal penelitian ini disetujui.


Populasi  dan  sampel
Populasi dari penelitian ini adalah  sapi potong pada rumah potong Pemda Kota  Padang.
Sampel penelitian menggunakan sapi potong yang secara fisik tampak sehat. Di pilih sapi dengan taksiran berat daging 100 - 150 kg. Setelah sapi di potong di ambil usus besarnya  sepanjang 60 cm. Pada penelitian ini dilakukan masing–masing pada 10 sampel yang di pilih secara random.

Kriteria  inklusi
a.    Sapi yang di ambil ususnya adalah sapi yang secara fisik sehat dengan taksiran  berat daging antara  100  - 150 kg.        
b.    Usus yang di ambil adalah usus besar dan secara makroskopik tidak tampak kelainan.

Kriteria  Ekslusi
a.  Terlihat kelainan pada usus besar sapi  yang akan di ambil untuk sampel.

Cara  Kerja
Usus yang di pakai dalam penelitian ini adalah usus besar sapi yang di ambil dari sapi baru di potong. Usus di ambil sepanjang  60 cm  segera dimasukan ke dalam plastik yang berisi NaCl fisiologis dan di simpan dalam termos es untuk di bawa ke Laboratorium Fisika. Jarak waktu pengambilan sampel sampai dilakukan penjahitan ± 1 jam.
Usus di potong menjadi dua bagian yang sama panjang masing-masingnya 30 cm. Satu bagian dimasukan ke kelompok A dan satu bagian lagi ke kelompok B. Pada kelompok A usus di potong menjadi dua bagian yang sama panjang kemudian di jahit satu lapis secara sero muskuler, continous dengan benang vicryl 4.0. Pada kelompok B usus juga di potong menjadi dua bagian yang sama panjang  tapi di jahit secara connel dengan vicryl 4.0 dan di beri jahitan penguat dengan silk 3.0. Jahitan di buat l.k ½ cm dari pinggir luka dan masing-masingnya berjarak ½ cm sedangkan untuk jahitan penguat di buat dengan jarak masing–masingnya ½ cm. Benang disimpulkan secara triple throw knot dan benang di potong l.k ½  cm dari simpul. Di catat berapa lama waktu dan benang yang dibutuhkan untuk menjahit masing- masing kelompok.
Pada kedua kelompok masing-masing  ujung ususnya dimasukan folley kateter no.14 F di ikat dengan benang silk no.0. Balon kateter di isi 3 cc dengan NaCl fisiologis. Kemudian dilakukan test dengan cara sebagai berikut :
a)    Satu lobang folley kateter dihubungkan dengan mano meter air dan lobang satu lagi dihubungkan dengan slang infus yang telah berisi  air +  zat pewarna  (Methylene Blue) dengan ketinggian 2 meter.
b)    Usus tersebut kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang di isi air jernih.
c)    Letak usus sama tinggi dengan titik nol pada  mano meter air.
d)    Peningkatan tekanan intara luminal diberikan dengan memasukan air + zat pewarna tadi sampai terlihat adanya kebocoran.
e)    Tekanan yang menyebabkan keluarnya cairan berwarna dari tempat anastomosis di catat sebagai  tekanan penyebab kebocoran (Bursting Pressure).


Variabel.
1. Variabel bebas.        
      a. Teknik jahitan  satu lapis.
      b. Teknik jahitan dua lapis.
2. Variabel  Random.      
    Berat badan sapi.
3. Variabel kendali          :   Jenis sapi.
4. Variabel tergantung  
      a. Kekuatan jahitan.
      b. Lama waktu  melakukan
          anastomosis.
      c. Banyaknya benang yang dibutuhkan dalam anastomosis.
                                   
Defenisi  Operasional
a.    Teknik jahitan anastomosis.
Teknik pertama adalah jahitan satu lapis. Jahitan dilakukan  secara seromuskuler  dengan menggunakan benang vicryl 4.0, continous  tanpa jahitan penguat. Teknik kedua adalah jahitan dua lapis yaitu jahitan inversi seluruh tebal usus secara Connel dengan menggunakan benang vicryl 4.0 dan di beri jahitan penguat secara interupted memakai  benang silk 3.0  dengan jarum round bodied. Jarak jahitan dari pinggir luka ± ½ cm dan jarak masing-masing jahitan ± ½ cm sedangkan jarak jahitan penguat masing–masingnya ±  ½  cm. Benang di simpul secara triple throw knot  dan  di potong   ±  ½ cm dari simpul.

b.    Kekuatan jahitan anastomosis.
Adalah kekuatan jahitan anastomosis terhadap peningkatan tekanan intra luminal  yang di ukur dengan mano meter air, dengan melihat tekanan yang menyebabkan kebocoran pada anastomosis (Bursting  Pressure).


c.    Lama waktu anastomosis.
Adalah  lama waktu yang diperlukan dalam melakukan anastomosis dengan satuan menit. Di nilai dengan menggunakan stop watch.

d.    Banyaknya benang.
Adalah jumlah benang yang terpakai untuk anastomosis dan di ukur dengan centimeter. Jenis benang yang di pakai untuk anastomosis adalah benang vicryl 4.0 dengan jarum round bodied. Sedangkan untuk jahitan penguat di pakai  benang silk 3.0 dengan jarum round bodied. Semuanya keluaran ethicon.

Analisa  Data
Data di peroleh dalam bentuk numerik yang menggambarkan kekuatan jahitan usus yang di anastomosis terhadap peningkatan tekanan intra luminal, lama waktu melakukan anastomosis dan banyaknya benang yang dibutuhkan dalam anastomosis. Data disajikan dalam bentuk tabel dan di uji kemaknaan dengan metode t  test.

Etika  Penelitian
Setelah penelitian maka usus yang di pakai sebagai model percobaan dikuburkan.







HASIL 
Tabel 1.Kekuatan  jahitan satu lapis (A) dan jahitan dua lapis (B) pada   anastomosis usus terhadap peningkatan tekanan intra luminal dalam satuan cm H20
 No. Sampel     A                   B
1        47,0              50,5
2        49,5              51,0
3        48,0              49,5
4        49,0              48,0
5        48,5              50,5
6        50,5               49,5
7        48,0              51,0
8        50,0              52,0
9        51,5              50,5
10               50,5               51,0
Rata-rata       49,25             50,35
                                     
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam kekuatan jahitan  (t = 2,26 dan p=0,066) antara jahitan satu lapis  (49,25 ± 1,40 cm H20) dan jahitan dua lapis  (50,35  ± 1,11 cm H20).

Tabel 2.Lama waktu melakukan anastomosis pada jahitan satu lapis (A) dan jahitan dua lapis (B) dalam satuan menit
   No.        A        B
1             19,10               29,20
2             21,02               31,04
3             20,05               29,12
4             18,32                 30,08
5             18,54               28,54
6              19,12                 28,58
7             19,08               30,02
8             20,02               30,08
9                     21,04               28,48
10             20,06               30,04   
Rata-rata     19,64                 29,52   
Rata–rata lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan anastomosis pada jahitan satu lapis adalah : 19,64 ± 1,15  menit dan pada jahitan dua lapis 29,52 ± 0,93 menit. Setelah di uji dengan metode t Test hasilnya sangat signifikan (t : 2,262  dan  p = 0,000).

Tabel 3.Jumlah  benang yang terpakai dalam melakukan anastomosis  pada  jahitan  satu lapis (A) dan jahitan dua lapis (B) dalam  satuan Cm
No       A                         B
       Vicryl 4.0     Vicryl 4.0    Silk 3.0
1    57,0           64,5      68,0
2    60,0           66,0      69,0
3    57,5            64,0      67,5
4    58,5           63,5            68,0
5    59,0           65,5      69,5
6    61,0           64,0      68,0
7    57,0           64,5      67,5
8    60,5           65,0      69,0
9    61,0           64,5            68,0
10    59,5            65,0      67,6
Rata  59,10            64,65           68,2   

Pada jahitan satu lapis diperlukan benang vicryl 4.0 rata-rata 59,10 ± 1,56  Cm . Sedangkan pada jahitan dua lapis diperlukan benang vicryl 4.0 rata-rata 64,65 ± 0,75 cm di tambah dengan  benang silk 3.0 rata-rata  68,2 ± 0,65 cm.

PEMBAHASAN
Secara garis besar ada dua parameter yang menentukan keberhasilan dalam melakukan anastomosis usus yaitu parameter  mekanik seperti terjadinya peningkatan tekanan dalam lumen usus yang di anastomosis dan parameter   biomekanik seperti pengaruh pembentukan kolagen.(9) Komplikasi yang sering terjadi adalah bocornya anastomosis   2%–18%  dan   50%  terjadi dini.(6)
Banyak faktor yang memegang peranan untuk keberhasilan kita dalam melakukan anastomosis usus tapi secara umum di bedakan faktor sistemik dan faktor lokal. Materi (benang) serta teknik jahitan yang kita gunakan merupakan  salah satu faktor lokal yang  mempengaruhi keberhasilan anastomosis. Dalam hal materi dan ukuran benang saat ini sudah dapat dilakukan standarisasi, sedangkan teknik jahitan mengalami perkembangan yang pesat. Bermacam – macam teknik jahitan yang dapat di pakai dalam melakukan anastomosis usus, di mana masing-masing peneliti melaporkan kelebihan teknik jahitannya. Teknik yang tidak baik dapat menyebabkan iskemia dan tension dari anastomosis yang pada akhirnya menyebabkan kebocoran. Di samping itu kebocoran anastomosis juga  dapat terjadi akibat ketegangan jahitan  oleh karena  adanya peningkatan tekanan intra luminal.(2,3,12)
Ada banyak cara penjahitan pada anastomosis usus tetapi pada prinsipnya dibedakan berdasarkan pada kesinambungan benangnya (terputus -putus atau jelujur) dan pada posisi kedua ujung potongan usus yang akan di sambung (jahitan satu  lapis  atau  jahitan dua  lapis).(2,4,16)
Pada penelitian ini penulis  mendapatkan rata–rata kekuatan jahitan anastomosis terhadap peningkatan tekanan intra luminal adalah 49,25   1,40 cm H2O untuk jahitan satu lapis dan  50,35  1,11cm H2O untuk jahitan dua  lapis.
Walaupun  rata – rata tekanan intra luminal yang menyebabkan kebocoran anastomosis pada jahitan dua lapis tampak lebih tinggi dibandingkan jahitan satu lapis tapi setelah di uji secara statistik dengan metode t Test tidak terdapat perbedaan yang bermakna (t = 2,262 dan p= 0,066).
Tekanan  tersebut jauh lebih besar dari tekanan intra luminal ileum sewaktu di lewati oleh makanan yakni 30 cm H2O. Verhofstad yang di kutip Inggarwati dalam penelitiannya terhadap usus kelinci yang di anastomosis end to end mendapatkan Breaking Strength terendah adalah pada hari ketiga yaitu 41, 85  cm H2O.(1)
Jadi anastomosis usus yang dikerjakan dengan jahitan satu lapis  mempunyai keamanan yang sama  dengan jahitan dua lapis terhadap  komplikasi dini yakni timbulnya kebocoran  akibat peningkatan tekanan  intra luminal. Jon M Burch pada penelitiannya mendapatkan komplikasi yang  tidak  berbeda antara jahitan satu lapis  dibandingkan dengan jahitan dua lapis.(4)
Sedangkan Kitago dalam penelitiannya pada usus babi  yang di jahit dua lapis mendapatkan tekanan  intra luminal yang menyebabkan  bocornya anastomosis pada usus halus adalah   86,1   19,5  mm Hg  dan pada usus besar adalah  78,4    17,9 mmHg.(10)
Tingginya tekanan yang di dapat pada penelitian Kitago ini karena hanya melakukan insisi pada usus lk  3  cm  dan  di jahit dua lapis kemudian di beri peningkatan tekanan intra luminal. Penelitian ini juga dilakukan pada babi yang masih hidup.(10)
Lamanya waktu dalam melakukan anastomosis rata-rata untuk jahitan satu lapis penulis dapatkan 19,74    1,15  menit dan untuk jahitan dua lapis            29,82    0,93 menit. Terdapat perbedaan yang bermakna setelah di uji secara statistik  (t=2,26  dan  p=0,000). Terlihat bahwa jahitan dua lapis memerlukan waktu yang lebih lama. Jon M Burch pada penelitiannya mendapatkan lamanya waktu melakukan anastomosis usus manusia rata-rata untuk jahitan satu lapis adalah 20,8 menit dan jahitan dua lapis  30,7 menit.(4)
Pada jahitan dua lapis kita memberikan trauma yang lebih besar  pada usus saat operasi, materi jahitan juga lebih banyak dan timbulnya inversi pada anastomosis. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya iskemik lebih besar dan respon inflamasi yang lebih banyak pada stadium penyembuhan awal. Inversi pada anastomosis dapat menimbulkan komplikasi stenosis, apalagi  dilakukan pada usus yang mempunyai lumen lebih kecil. Di samping itu kerugian lain adalah  kembalinya peristaltik usus setelah operasi lebih lama. Kesemuanya mengakibatkan masa rawat yang lebih lama. Jon M Burch  mendapatkan rata-rata perawatan pasien yang dilakukan penjahitan satu lapis adalah 7,9 hari sedangkan yang dilakukan jahitan dua lapis adalah 9,9 hari.(4,20)
Jumlah benang vicryl 4.0 yang  terpakai dalam jahitan satu lapis penulis dapatkan rata-rata 59,10  1,56 cm  sedangkan untuk jahitan dua lapis diperlukan benang  vicryl 4.0 adalah  64,65     0,75 cm, setelah di uji secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna  (t = 2,262  dan p= 0,000). Di samping itu untuk  jahitan dua lapis juga diperlukan  benang silk 3.0 rata-rata 68,2  0,65 cm.
Saat ini harga benang Vicryl 4.0 adalah Rp. 90.000,- dan benang silk 3.0 adalah sebesar Rp. 60.000,-. Jadi untuk jahitan satu lapis dibutuhkan biaya untuk benang saja sebesar Rp. 90.000,- dan untuk jahitan dua lapis dibutuhkan biaya benangnya sebesar Rp. 150.000,-

KESIMPULAN
1.    Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kekuatan jahitan satu lapis dan dua lapis pada anastomosis usus besar sapi terhadap peningkatan tekanan intra luminal.
2.    Dibutuhkan  waktu yang lebih lama dalam melakukan anastomosis usus pada jahitan dua lapis dibandingkan jahitan satu lapis. Pengujian secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna.
3.    Biaya yang diperlukan lebih besar untuk jahitan dua lapis di banding jahitan satu lapis.

KEPUSTAKAAN
1.    Audah H, Maleachi A : Diet dini bertahap pada penderita pasca reseksi dan anastomosis ileum. Ropanasuri Vol.XXIX  No.4 : 2001 : hal 6 – 9. 

2.    Ballantyne G.H  :  The eksperimental  basis of intestinal suturing. Effect of surgical technic, inflamation and infection  on enteric  wound  healing. Dis  Colon Rectum.1984. Jan : 27 : p.67 – 71. 
3.    Brooks  Dc, Zinner MJ :  Surgery of  the Small and Large Bowell in Maingot’s  Abdominal  Operation. Prentice Hall International Inc. USA. Tenth Ed. Vol II. 1997. Ch. 43 : 1309 – 1335.

4.    Burch J.M  , Francois R.J ,  Moore E.E, Walter. L  :  Single Layer Continous  versus  Two  Layer Interupted  Intestinal Anastomosis ,  a prospective randomised trial.  Ann  Surg Vol. 231, No. 6, 2000  p. 832 – 837.

5.    Burkitt D.S,  Donovan IA :  Intra luminal pressure  adjacent  to left colonic anastomoses.  Br. J. Surg : 77 :  1288, 1984.

6.    Cohen .K, Degelmenn RF, Crossland MC ; Wound Care and Wound Healing  in  Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Husser WC ;   Principles of  Surgery  6th ed  . Newyork . Mc. Graw Hill. 1994 : p.279 -296 .

7.    Docherty JG, MC Gregor UR, Alcyol AM, Murray GD, Galloway DJ : Comparison of  Manually Constructed and Stapler anastomosis in Colo Rectal  Surgery : Ann. Surg.1995. February 221 :  p. 176 – 184.

8.    Dudley HA, Bailey H : Reseksi dan Anastomosis  Usus dalam  Ilmu Bedah Gawat Darurat. Ed XI. Gajah Mada University Press.1992. hal. 353 –359.

9.    Hendriks T,  Mastboom WJ  :  Healing of experimental intestinal  anastomosis,  parameter for repair. Dis  Colon Rectum  1990 , oct ; 33 : p.  891- 901.

10.    Kitago  K  MD ,  Brand M ,  Milson JW , Fazio VW  :  Intestinal  laser  welded   anastomoses  in a  porcine  model.  Colo  Rectal  surg.  Cleveland, Ohio, USA. 1992.

11.    Kodner JI, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH ; Colon, Rectum and Anus  in Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Husser WC ;   Principles of  Surgery  6th ed. Newyork. Mc. Graw Hill. 1994.         p. 1192 -  1300.

12.    Marijata,  Wartatmo  H  : Pelatihan  penyambungan  usus  di   Laboratorium   keterampilan  ( Skill   Lab)  untuk  PPDS  I  :  Ilmu Bedah umum.  Ropanasuri.  Vol  XXVI. No.1-2.  1998. Hal.47 – 51.

13.    Murti B ; Penerapan Metode Statistik  non Parametrik dalam ilmu-ilmu Kesehatan. Jakarta. Granedia. 1996.

14.    Ramming KP MD  ;  Colon and Rectum  in  Sabiston Jr Da ed. Tex Book of Surgery  14 th ed. Philadelpia. WB Sauders. 1991.

15.    Rosin RD  ;  Anastomosis in Baileys and Love’s  Short Practice of Surgery  ; 23nd ed, London. Chapman and hall 2000.  p.  839 – 930.

16.    Rout WR;   Gastrointestinal   Suturing in  Zudima GD ;  Surgery of the Alimentary Tract. WB Saunders Company. Philadelphia.  Ch. 25  ; 1996 : p. 353 – 365.

17.    Sasaki  LS,  Allaben RD,  Colwala R, Mittal VK :  Primary  Repair of Colon Injury, A prospective  Randomize  Study. Journal  of trauma ; 1996 ; p.  895  - 951.

18.    Sauer  JS, Roger  DW, Hinshaw  JR  :  Bursting  presure  of  CO2  laser – welded  rabbit  ileum.  Laser  surg. 1996 : p. 106  -  109.
19.    Schwartz  SI :  Intestinal  Resection and Anastomosis in Maingot’s Abdominal Operation. Prentice Hall International Inc USA. Tenth Ed.  Vol I. Ch 41 ; 1997  ;  p. 933 – 949.

20.    Thornton Frank J,  Barbul A  ;   Healing  in the Gastro Intestinal  Tract ;  Surgical  Clinics  of  North  America. Vol  77 No.3 :  1997  ;  p. 549 –565.

21.    Welton, Mark L . Varma,  Madhulika G.  Amerhauser, Andreas : Colon Rectum and  Anus  in  Surgery  Basic  Science and Clinical Evidence. Springer,   Newyork. Ch. 33 : 2000 ; p. 667 –  762